Thursday, September 29, 2005

Ulama Jualan Bensin

nurtria.net

Muhammadiyah pernah memiliki ketua umum luar biasa secara integritas
moral. Namanya AR Fachruddin (kini almarhum). Ulama yang biasa
dipanggil Pak AR ini sangat jujur dan memiliki kepribadian zuhud.
Suatu ketika ia datang ke Malang. A Malik Fadjar (kini mendiknas) yang
kala itu menjabat rektor Universitas Muhammadiyah Malang menyalami
uang Pak AR sekian juta. Uang itu diterima. Namun beberapa hari
berselang datang surat berisi kwitansi pembayaran berkop panti asuhan
anak yatim. Ternyata uang sekian juta dari Pak Malik Fadjar itu oleh
Pak AR diterima bukan untuk dinikmati pribadi. Tetapi disumbangkan
kepada panti asuhan anak yatim. Sedang kwitansi pembayarannya
dialamatkan langsung kepada si pemberi (Malik Fadjar). Luar biasa.

Pak AR memang profil ulama sederhana dan hidup apa adanya. Sebagai
ketua umum PP Muhammadiyah sebenarnya ia bisa “menjual” posisinya
untuk mengeruk uang dengan berbagai dalih. Atau posisinya yang
bergengsi itu bisa untuk bargaining position demi meraih jabatan
politik. Namun tampaknya ia bukan tipe orang aji mumpung. Pak AR
tampaknya meresapi betul pesan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Kiai Ahmad Dahlan berpesan: hidup-hidupilah Muhammadiyah, tapi jangan
cari penghidupan atau kehidupan di Muhammadiyah.

Karena itu Pak AR lebih suka memberi teladan sederhana, menjauhkan
sikap tinggi hati dan gengsi. Lihat saja kehidupan sehari-harinya. Di
depan rumahnya ia jualan bensin. (Harap dicatat, jualan bensin di sini
bukan SPBU (pom bensin) seperti Taufik Kiemas yang memiliki nilai
miliaran rupiah. Atau seperti anggota dewan dan kiai yang sering
diplesetkan tongkatnya bisa muncrat bensin karena memiliki banyak pom
bensin di mana-mana). Pak AR jualan bensin dalam pengeritan eceran
sesungguhnya seperti umumnya rakyat kecil di pinggir jalan .

Itu di Muhammadiyah. Di NU juga ada seorang kiai tak kalah nylenehnya.
Kiai yang enggan dipublikasikan ini dikenal sebagai kiai rohani, bukan
kiai syariah. Ia tak mau menghakimi orang lain dengan dalil agama.
Apalagi mencekal kreativitas kehidupan agama. Hidupnya juga sangat
bersahaya, namun jiwanya luar biasa kaya. Ia diyakini memiliki
keistimewaan kasyaf, weruh sa’durungi winarah. Maka mudah dipahami
jika para pejabat belomba ingin sowan ke rumah kiai unik ini. Namun
jangan dikira mudah menemuinya. Setinggi apapun jabatannya jika kiai
ini tak berkenan, ia akan pulang hampa.

Yang lebih menakjubkan, ia banyak membiayai studi anak-anak muda NU
sampai lulus sarjana. Konon, telah banyak sekali sarjana berkat
pertolongan biaya dari kiai ini.Yang juga unik, ia sering mentransfer
uang ke anak muda NU yang lagi kesulitan ekonomi. Entah bagaimana
caranya ia kok bisa mengetahui kesulitan orang. Padahal anak itu tak
minta dan tinggal jauh di kota Jakarta. Tiba-tiba kiai ini mentransfer
tanpa sepengetahuan anak tersebut. Tercatat beberapa anak muda NU yang
sering menerima tranfer uang dari kiai eksentrik ini. Jiwa sosial kiai
ini memang patut diteladani. Meski ia punya banyak kekayaan tapi ia
tak ingin menimbun untuk kesenangan pribadi. Ia tampaknya bertekad
untuk menjadikan hidupnya seperti hadits Nabi Muhammad SAW: yadul ulya
(tangan di atas, pemberi), bukan yadussufla (penerima atau penadah).

Memang, keistimewaan tokoh atau ulama berbeda-beda. Ada yang tahan
godaan, tidak terperosok pada hubbuddunya seperti Pak AR. Ada pula
yang berjiwa sosial tinggi seperti kiai NU yang tak mau dikorankan.
Namun banyak pula yang gagal menjalankan fungsi keulamaan, meski
disebut tokoh agama. Mereka tak tahan godaan, juga tak punya jiwa
sosial. Ironisnya, kadang mereka tak merasa kalau dirinya telah gagal.

Bahkan sambutan masyarakat yang mulai hambar tak ia rasakan.
Kepekaannya sudah hilang. Tren kehidupan di lingkungan wartawan juga
sama. Ada wartawan yang sikap hidupnya mirip prinsip Pak AR. Ia
menolak keras amplop (uang) dari nara sumber. Ia memang sangat
idealis. Namun ia kadang kesulitan menolak karena lembaga atau nara
sumber sudah menyiapkan. Karena terpaksa biasanya ia terima juga.
Namun uang itu kemudian ia salurkan ke yayasan atau panti asuhan. Nah,
tanda terima atau kwitansi dari yayasan itu kemudian ia kirimkan
kepada lembaga si pemberi amplop melalui pos.

Kita kadang memang dihadapkan pada pilihan dilematis. Pada satu sisi
kehidupan konsumerisme luar biasa menggoda. Namun pada sisi lain kita
juga harus menjaga kehalalan uang yang kita terima. Sebab uang yang
kita peroleh untuk nafkah keluarga. Kita tentunya tak rela uang haram
masuk ke dalam tubuh anak-anak kita. Situasi ini sangat berat, apalagi
bagi mereka yang hidup di kota. Namun saya lalu ingat wejangan KH
Adlan Aly (almarhum) ketika ikut ngaji kitab kuning. Kiai ahli tarikat
(sufi) ini menyatakan bahwa sulit mencari makanan yang betul-betul
halal murni, tanpa kontaminasi. “Yang murni hanya air hujan yang
langsung datang dari atas, ” katanya. Meski demikian bukan berarti ini
lalu bisa kita pakai sebagai pembenaran untuk tidak hati-hati.
Setidaknya wejangan ini membuat jiwa kita lebih arif dan tak terlalu
resah.

Oleh: M Mas’ud Adnan*
http://www.nu.or.id